Selasa, 16 Mei 2017

model dan gerakan keagamaan muhammadiyah di indonesia

B.     Model dan Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah.
          Organisasi Muhammadiyah adalah organisasi peregerakan. Daya juang para kader organisasi dalam mendalami dunia dakwah demi tersebarnya syariat-syariat Islami merupakan sebuah isyarat bahwa gerakan Muhammadiyah telah menembus batas tradisi dan budaya, khususunya di Indonesia, tempat dimana organisasi ini berkembang dan mewujud. Setiap kader dituntut agar bergerak dinamis, dapat menjiwai nilai-nilai organisasi dan khatam secara idiologi Muhammadiyah
Secara harfiah terdapat perbedaan antara kata “gerak”, gerakan dan pergerakan. Gerak sendiri merupakan perubahan suatu materi dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak, dan pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis dan statis. (Q.S.3:104). “perubahan/change”, yakni kehadirannya untuk melakukan perubahan tertentu baik yang evolusioner maupun revolusioner. Gerakan sosial kemasyarakatan adalah suatu bentuk kolektif berkelanjutan yang mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
      Adapun makna gerakan keagamaan dalam Muhammadiyah adalah gerakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa selama agama Islam masih murni dan masih utuh dilaksanakan, maka umat Islam dapat bangkit kembali. kebangkitan 
           Terdapat tiga hal yang membedakan gerakan sosial dari bentuk perilaku kolektif lainnya yaitu:
 Pertama; organized, yaitu gerakan sosial itu terorganisasi, sedangkan kebanyakan perilaku kolektif tidak terorganisasi baik pemimpin, pengikut, maupun proses pergerakannya. Kedua; delibrate, gerakan sosial itu direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan. Ketiga; enduring, gerakan sosial itu keberadaannya untuk jangka waktu yang panjang hingga beberapa dekade. Artinya sebuah gerakan sosial, terlebih gerakan keagamaan memiliki karakter yang kuat untuk bergerak secara terorganisir, terencana dan berkelanjutan sehingga tidak mudah tertelan zaman maupun badai tantangan zaman berikutnya.
        Dalam teori perubahan sosial sebuah pergerakan atau gerakan selalu lahir memiliki makna sebuah gerakan tanpa harus putus ini dapat dilihat pada muqaddimah anggaran dasar Muhammadiyah, pokok pikiran keenam. Terdapat tiga hal yang membedakan gerakan sosial Muhammadiyah dengan yang lainnya. Dimana secara garis besar tersirat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf dan tajdid yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis.
    
D.    Gerakan Tajdid pada 100 tahun Kedua
            Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah, 1998: 10).
          Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil alamin.
    Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun  mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigma merupakan tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan kontekstual bahkan berdaya guna.www.blogspot.com/2011/11/reorientasi-gerakan muhammadiyah.html).
         Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata mengalami problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia.
         Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan.
      Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang merupakan suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan modernisme.
       Muhammadiyah 100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
     Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar sebagai alternatif. Benni Setiawan, www.muhammadiyahstudies.blog)
         Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini. Nurcholish Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran agar “kunci” metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan kekayaan materi pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik maupun kontemporer. Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.
                                   Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini tajdid Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang lebih mendasar). Dalam konteks ini secara sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan pengembangan wawasan pemikiran. Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi. (
        Keberhasilan Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena potensi dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar