Muhammadiyah Gerakan Berwatak Tajrid dan
Tajdid
Disusun oleh :
1.
Irsyad Nurohman 1501050029
2.
Tiara Nur’Aeni S 1501050030
3.
Primandita Rahmaningtias 1501050031
4.
Amanda Kurnia Bintari 1501050033
5.
Fauzan Hanif 1501050034
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan Rahmat-Nya agama sebagai
sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai
sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas
abad, menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti baik itu menyangkut ajaran
dan pemikiran keagamaan, maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang tajrid dan tajdid , disusun oleh penyusun dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Studi Islam 2. Dengan kesabaran serta keuletan
yang kami hadapi Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu berkat kerja keras kelompok kami.
Kami
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca khususnya
para mahasiswa.
Purwokerto, Maret 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persyarikatan Muhammadiyah yang melintasi
perjalanan usia satu abad senantiasa bersinggungan dan memiliki kaitan dengan
berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik
dalam lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika kehidupan
umat Islam. Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan kehidupan
nasional, global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas dibingkai dan
ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan
misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus
mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam
masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar
makruf nahi munkar. Kedua, Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong
tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai
realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin
yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara,
dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global. Ketiga, sebagai
salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya
untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan
dalam Pembukaan Konstitusi Negara. Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah
bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang
kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan
keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa
bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan
berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan
lil-alamin.
B.
Rumusan
Masalah
- Pengertian Tajrid dan Tajdid ?
- Bagaimana watak Muhammadiyah sebagai gerakan Tajrid dan
Tajdid ?
- Bagaimana model Tajrid dan Tajdid Muhammadiyah ?
- Bagaimana model keagamaan Muhammadiyah ?
- Bagaimana gerakan Tajdid pada 100 tahun pertama ?
- Bagaimana gerakan Tajdid pada 100 tahun kedua ?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Tajrid dan Tajdid.
- Pengertian Tajrid
Istilah Tajrid berasal
dari bahasa Arab berarti pengosongan, pengungsian, pengupasan, Pelepasan atau
pengambil alihan (Atabik Ali, 1999:410). Sedangkan tajrid dalam bahasa
Indonesia berarti pemurnian. Istilah ini, tidak se populer ketika menyebut
istilah tajdid, sekalipun yang dimaksudkan adalah memurnikan hal-hal yang
bersifat khusus. Dalam ibadah kita tajrid, hanya mengikuti Nabi Muhammad
saw dan tidak ada pembaharuan. Sedang
dalam muamalah kita tajdid, yakni melakukan modernisasi dan pembaruan.
- Pengertian Tajdid
Istilah tajdid berasal
dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau menjadikan
baru. Kata ini pula bentukan dari kata jadda, yajiddu, jiddan/jiddatan, artinya
sesuatu yang ternama, yang besar, nasib baik dan baru. Bisa juga berarti
membangkitkan, menjadikan, (muda, tangkas, kuat). Dapat pula berarti
memperbaharui, memperpanjang izin, dispensasi, kontrak. Dalam kamus Bahasa Indonesia
tajdid berarti pembaruan, modernisasi atau restorasi. Orang yang melakukan
pembaruan disebut mujaddid. Sedangkan istilah modernis (Inggris) atau modernisasi
(Indonesia) atau pembaruan, dalam Islam, diartikan sebagai upaya yang
sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran
dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu
untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, kiranya dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan Islam modernis adalah faham keislaman yang didukung oleh sikap yang
rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat
dalam al-Qur’an (wahyu tertulis) maupun dalam alam raya berupa sunnatullah
(wahyu yang tidak tertulis).
- Watak Muhammadiyah sebagai gerakan Tajrid dan Tajdid
Dalam Muhammadiyah
kekuatan tajdidnya terletak pada upaya menjaga keseimbangan (tawazun) antara
purifikasi dan dinamisasi, sesuai dengan bidangnya. Kalau kesimbangan ini
goyah, maka tajdid menjadi kurang sempurna dan sulit disandingkan dengan
perkembangan zaman. Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modern yang
telah melakukan perubahan dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan
politik. Selain itu, tajdid dalam pandangan Muhammadiyah merupakann salah satu
bentuk implementasi nilai ajaran Islam
setelah meninggalnya Nabi. Munculnya Gerakan tajdid sebagai jawaban terhadap
tantangan kemunduran yang dialami dan atau tantangan terhadap kemajuan oleh
kaum muslimin. Juga didasarkan pada landasan teologis yang menyebutkan perlunya
pembaruan setiap seratus tahun.
- Model
Tajrid dan Tajdid Muhammadiyah
- Model-model Tajrid Muhammadiyah.
a. Dalam bidang kepercayaan dan ibadah, muatannya menjadi
khurafat dan
bid’ah. Khurafat adalah kepercayaan tanpa
pedoman yang sah dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya ikut-ikutan orang tua atau
nenek moyang. Sedangkan bid’ah biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual
tetapi pengetahuan Islamnya kurang luas, sehingga yang dilakukan adalah bukan dari
ajaran Islam. Misalnya selamatan dengan kenduri dan tahlil dengan menggunakan
lafal Islam.
Masyarakat
Jawa pada umumnya menggunakan upacara selamatan, dalam berbagai peristiwa,
seperti kelahiran, khitan, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen, ganti
nama, dan sejenisnya. Namun, diantara macam-macam selamatan yang paling
menonjol adalah selamatan kematian, yaitu terdiri dari tiga hari, empat puluh
hari,seratus hari, dan kahul. Selamatan ini selalu diringi dengan membaca
tahlil sebagai cara mengirim do’a kepada si mayit.
Bentuk
khurafat lain yang biasa dilakukan orang Jawa adalah penghormatan kuburan
orang-orang suci, sambil meminta do’a restu, jimat, benda-benda pusaka dianggap
mempunyai kekuatan ghaib yang mampu melindungi.
Realitas
sosio-agama yang dipraktikkan masyarakat inilah yang mendorong Ahmad Dahlan
melakukan pemurnian melalui organisasi Muhammadiyah. munawir Syazali mengatakan
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam
dari semua unsur singkretis dan daki-daki tidak Islami lainnya.
- Model-model Tajdid Muhammadiyah.
Pertama; kongkrit dan produktif, yaitu melalui
amal usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan dan
dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh
dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada
komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam
rangka rahmatan lil alamin.
Kedua; tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka.
Maksud dari keterbukaan tersebut, Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan
dan kemajuan di sekitar kita. Dari sekian amal usahanya, rumah sakitnya
misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah sampai
kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau Muhammadiyah
mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, maka yang menjadi nasabah,
partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan.
Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat fungsional
dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk menjadikan Islam itu, sebagai
agama yang berkemajuan, juga Islam yang berkebajikan yang senantiasa hadir
sebagai pemecah masalah-masalah (problem solv), temasuk masalah
kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga bidang, yaitu
:
1) Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah
penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena
waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut
kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain.
Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau mengembalikan
kepada aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut
akidah atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana
diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya akidah islam yang murni, bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan
curafat tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut islam. Sedangkan dalam
ibadah, muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang
dituntunkan Rasullah tanpa perubahan dan tambahan dari manusia. Usaha
permurnian yang dilakukan muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak
dari serapan berbagai unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu
Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya mengarah tepat
ke arah barat.
2) Bidang pendidikan
Dalam bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan
meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi
Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang penting dalam penyebaran ajaran
islam, karena melalui bidang pendidikan pemahaman tentang islam dapat
diwariskan dan ditanamkan dari generasi kegenerasi.
Pembaharuan dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu
a. Segi
cita-cita
Dari segi ini ingin membentuk manusia muslim
yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, dan bersidia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
b. Segi
teknik pengajaran
Dari segi ini lebih
banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran. Dengan mengambil
unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem pendidikan
tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan sendiri. Seperti
sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama didalamnya, sekolah agama
dengan menyertakan perlajaran umum.
Selain pembaharuan dalam pendidikan formal,
Muhammadiyah juga telah mempebaharui pendidika tradisional non formal yaitu
pengajian. Dimana yang semula pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah oleh
muhammadiyah diperluas dan pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada
masalah kehidupan sehari-hari.
Begitupula muhammadiyah telah mewujudkan bidang
bimbingaan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan
mungkin bersifat pribadi.
3) Bidang sosial masyarakat
Muhammadiyah merintis bidang sosial
kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah
singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia
yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana
dilakukan orang pada umumnya. Usaha pembaharuan dalam bidang sosial
kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoen
(PKO)di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan orang lain merupakan
kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang jelas untuk ber
amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah dalam surat
Al-ma;un 107: 1-7
Yang artinya
“ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik
anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari
sholatnya, orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong dengan) barang
berguna.”.
- Model Keagamaan Muhammadiyah
Organisasi
Muhammadiyah adalah organisasi peregerakan. Daya juang para kader organisasi
dalam mendalami dunia dakwah demi tersebarnya syariat-syariat Islami merupakan
sebuah isyarat bahwa gerakan Muhammadiyah telah menembus batas tradisi dan
budaya, khususunya di Indonesia, tempat dimana organisasi ini berkembang dan
mewujud. Setiap kader dituntut agar bergerak dinamis, dapat menjiwai
nilai-nilai organisasi dan khatam secara idiologi Muhammadiyah.
Secara harfiah
terdapat perbedaan antara kata “gerak”, gerakan dan pergerakan. Gerak sendiri
merupakan perubahan suatu materi dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya.
Sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak, dan pergerakan
adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah
sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur,
dan esensi yang dinamis dan statis. (Q.S.3:104). “perubahan/change”, yakni
kehadirannya untuk melakukan perubahan tertentu baik yang evolusioner maupun
revolusioner. Gerakan sosial kemasyarakatan adalah suatu bentuk kolektif
berkelanjutan yang mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau
organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut
- Gerakan
Tajdid pada 100 Tahun Pertama
Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan
munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya
dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan
pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria,
diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al
Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan
pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi
yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung
-meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang
Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai
belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami
kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap
sebagai standard Islam yang benar.
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan
pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk
organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu
di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada
tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis
dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan
Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim
penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan
ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat
praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton,
sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya
bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk
Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka
perhimpunan itu maksudnya :
a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad
Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie
Yogyakarta.
b. Memajukan hal
Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin
organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan
pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas
ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar
Jawa.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan
(tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh
Muhammadiyah ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy:
Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah
mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama : berarti
pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, ialah
bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya
tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua
: berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila
tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik,
strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya
berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak
daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya
berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan
ajaran.
Muhammadiyah
adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah
masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam
sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia,
tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai
aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan
Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri.
Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai
pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH.
Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.
- Gerakan
Tajdid pada 100 Tahun Kedua
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada
abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya,
meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model,
dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru
discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek.
Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun “radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal baik ke arah “radikal kiri” maupun “radikal kanan” dalam pemikiran Islam, transformasi tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam transformasi orientasi tajdidnya, Muhammadiyah di satu
pihak tidak terjebak pada pemurnian semata minus pembaruan, sebaliknya
pembaruan tanpa peneguhan, sehingga terdapat ruang untuk transformasi atau
perubahan secara seimbang antara pemurnian dan pengembangan atau antara
peneguhan dan pencerahan. Namun paradigma dan strategi yang eklektik atau
tengahan seperti itu jika dibiarkan sekadar normatif belaka maka hanya
akan indah di ranah teori atau klaim tetapi sering tidak aktual atau mewujud
dalam kenyataan secara jelas dan tegas. Jika tanpa rancang-bangun yang jelas
tajdid purifikasi dan dinamisasi bahkan dapat melahirkan kecenderungan
kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian sekaligus tidak pembaruan. Di
sinilah pentingnya transformasi paradigmatik dalam orientasi
tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus purifikasi dalam
gerakan Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma
tajdid yang integratif atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi,
Muhammadiyah diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis yang sifatnya
menyusun ulang bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki Muhammadiyah
dengan keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada sikap
mauquf. Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi
dalam gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun
hati-hati terus menerus tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi
agenda yang tidak berkesudahan, padahal Muhammadiyah harus terus bergerak
menghadapi masalah-masalah dan tantangan-tantangan baru. Dua materi strategis
dapat diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut fondasi pemikiran yang
fundamental dalam gerakan Islam ini. Pertama,
menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah Islamiyah yang
berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi pandangan resmi
Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang substantif dan komprehensif
mengenai Islam maka akan sering terjadi tarik-menarik pandangan dalam
Muhammadiyah mengenai hal-hal yang fundamental mengenai aspek-aspek ajaran
Islam. Materi dalam al-Masail al-Khamsah (Masalah Lima) mengenai mâ hua al-din
(apa itu agama), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan berbagai rumusan resmi lainnya dapat
menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam dalam pandangan Muhammadiyah. Dalam
Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan pula secara komprehensif mengenai pandangan
Islam tentang perempuan, sehingga menghasilkan pandangan yang substantif,
mendalam, dan luas dari Muhammadiyah. Perumusan dan elaborasi Risalah
Islam yang komprehensif sekaligus dapat menjadi jawaban atas keperluan
Muhammadiyah untuk memberi substansi atas slogan al-ruju’ ila al-Quran wa
al-Sunnah sebagaimana selama satu abad perjalanannya telah menjadi ikon
sekaligus tema gerakan yang nyaring. Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan
bagaimana caranya harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah).
Jika Muhammadiyah telah meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam
yang seperti apa yang diyakini, dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah.
Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana terkandung dalam al-Masail
al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk
kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut. Umat Islam lain
dan pihak luar juga dapat memiliki rujukan yang jelas apa dan bagaimana
sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani dalam Muhammadiyah. Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas cakrawala metodologis dalam pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan dan perspektif mengenai metodologi pemikiran Islam yang dipedomani dalam Muhammadiyah. Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal) baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensi-dimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah pada tataran praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalan-persoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham) tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tajdid adalah
mengembalikan ajaran agama Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena
sekarang ini ajaran Islam mengalami penyimpangan dan pencampuran dengan
pemahaman yang bukan berasal dari Islam, sedangkan tajrid berarti pengosongan,
pengungsian, pengupasan, pelepasan atau pengambil alihan.
Tajdid
dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam
Muhammadiyah pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada
pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh umat Islam.
Model model Tajdid dalam
Muhammadiyah digolongkan dalam tiga bidang diantaranya (a) bidang keagarmaan
yaitu Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau
prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan
kondisi mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh
kebiasan dan pemikiran tambahan lain. (b) bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah
mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih
nyata dimana bidang pendidikan dipandang sangat penting dalam penyebaran ajaran
agama islam. (c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial
kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah
singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia
yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana
dilakukan orang pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
- M. Syamsul Anwar. 2005. Manhaj Ijtihad/Tajdid
dalam Muhammadiyah. dalam Mifedwil Jandra & Safar Nasir. Editor. Tajdid
Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban. Yogyakarta. UAD Press. H. 71
-
http://rafhaulfa.blogspot.com/2016/08/makalah-muhammadiyah-sebagai-gerakan.html
-
http://arifinismail.blogspot.co.id/2011/01/tajrid-kesungguhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar