B. Model dan Makna Gerakan Keagamaan
Muhammadiyah.
Organisasi Muhammadiyah adalah
organisasi peregerakan. Daya juang para kader organisasi dalam mendalami dunia
dakwah demi tersebarnya syariat-syariat Islami merupakan sebuah isyarat bahwa
gerakan Muhammadiyah telah menembus batas tradisi dan budaya, khususunya di
Indonesia, tempat dimana organisasi ini berkembang dan mewujud. Setiap kader
dituntut agar bergerak dinamis, dapat menjiwai nilai-nilai organisasi dan
khatam secara idiologi Muhammadiyah
Secara
harfiah terdapat perbedaan antara kata “gerak”, gerakan dan pergerakan. Gerak
sendiri merupakan perubahan suatu materi dari tempat yang satu ke tempat yang
lainnya. Sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak, dan
pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam
ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti,
unsur, dan esensi yang dinamis dan statis. (Q.S.3:104). “perubahan/change”,
yakni kehadirannya untuk melakukan perubahan tertentu baik yang evolusioner
maupun revolusioner. Gerakan sosial kemasyarakatan adalah suatu bentuk kolektif
berkelanjutan yang mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau
organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
Adapun makna gerakan keagamaan dalam
Muhammadiyah adalah gerakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ahmad Dahlan
berkesimpulan bahwa selama agama Islam masih murni dan masih utuh dilaksanakan,
maka umat Islam dapat bangkit kembali. kebangkitan
Terdapat tiga hal yang membedakan
gerakan sosial dari bentuk perilaku kolektif lainnya yaitu:
Pertama; organized, yaitu gerakan
sosial itu terorganisasi, sedangkan kebanyakan perilaku kolektif tidak
terorganisasi baik pemimpin, pengikut, maupun proses pergerakannya. Kedua; delibrate,
gerakan sosial itu direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan. Ketiga;
enduring, gerakan sosial itu keberadaannya untuk jangka waktu yang panjang
hingga beberapa dekade. Artinya sebuah gerakan sosial, terlebih gerakan
keagamaan memiliki karakter yang kuat untuk bergerak secara terorganisir,
terencana dan berkelanjutan sehingga tidak mudah tertelan zaman maupun badai
tantangan zaman berikutnya.
Dalam teori perubahan sosial sebuah
pergerakan atau gerakan selalu lahir memiliki makna sebuah gerakan tanpa harus
putus ini dapat dilihat pada muqaddimah anggaran dasar Muhammadiyah, pokok
pikiran keenam. Terdapat tiga hal yang membedakan gerakan sosial Muhammadiyah
dengan yang lainnya. Dimana secara garis besar tersirat bahwa Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf dan tajdid yang bersumber pada
al-Qur’an dan al-Hadis.
D. Gerakan Tajdid pada 100 tahun Kedua
Tajdid merupakan proses yang tidak pernah
berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi
makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali
dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan
lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat dan zaman. Untuk
mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara normativitas teks
dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah
adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Amin Rais menyebut
tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah, 1998: 10).
Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani,
burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema
antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Pengetahuan dan peradaban
manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini
terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigma merupakan tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan
kontekstual bahkan berdaya guna.www.blogspot.com/2011/11/reorientasi-gerakan
muhammadiyah.html).
Perkembangan peradaban
manusia kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme. Agama-agama yang
selama ini mapan dengan dirinya, ternyata mengalami problematika ketika
berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu,
maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama
senantiasa relevan dengan peradaban manusia.
Tantangan selanjutnya
datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama sebagai
sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem nilai
yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir
dari kearifan lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah masyarakat
sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan
budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan
perpecahan.
Muhammadiyah 100 tahun kedua,
meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang merupakan suatu keharusan.
Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih bersifat
monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam
Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan
modernisme.
Muhammadiyah 100 tahun
kedua, diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan strategi yang lebih
tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya,
baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni
terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan yang
ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di
berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi ideologi
medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang
diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal sebagai gerakan pencerahan,
Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta
mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam.
Selain transformasi dalam
aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang pemikiran, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan,
Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan demikian
transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan
dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar sebagai alternatif. Benni Setiawan,
www.muhammadiyahstudies.blog)
Sejumlah tawaran bagi
Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid
yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial
sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru)
tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah
sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan pemikiran
Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini. Nurcholish Madjid
secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan Islam modernis seperti
Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran agar “kunci”
metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan kekayaan materi
pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik maupun kontemporer.
Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam
modern seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya
amal tetapi kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah
perubahan dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan tantangan
sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.
Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini
tajdid Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid
juz’i-‘alami (pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari
(pembaruan pemikiran yang lebih mendasar). Dalam konteks ini secara sistemik
tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai
dan legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan
pengembangan wawasan pemikiran. Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja
memerlukan etos ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami
kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai
variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih
longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap
tasamuh dan memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi. (
Keberhasilan Muhammadiyah
melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena potensi dan modal
dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan pencerahan yang
membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan
kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar